Dosen
Pengampu Pdt. Darius Sriyono M. Th.
Oleh
NATAL
RIA ZEGA
NIM : 16311415
Prodi : S1-PAK
SEJARAH
GERAKAN OIKUMENE
1. Dalam sejarahnya
yang panjang gereja yang esa itu sudah terpecah belah menjadi banyak gereja. Namun,
begitu perpecahan terjadi, segera mulai pula usaha-usaha untuk memulihkan
kesatuan yang telah didoakan oleh Kristus (Yoh. 17:21). Kesatuan gereja yang
dicita-citakan ini disebut oikumene.
Pada setiap abad ada terjadi keretakan dalam gereja
kristen. keretakan-keretakan terbesar terjadi setelah Konsili Chalcedon (451,
penganut nestorius dan crillus memisahkan diri) antara tahun 1054-1204 (gereja
katolik pecah menjadi gereja ortodoks Timur dan gereja Katolik Roma), dan sesudah tahun 1517
(gereja Protestan lahir). Kemudian, gereja Protestan terpecah-pecah lagi,
sehingga banyak timbul denominasi(= kelompok gereja-gereja yang mempunyai dasar
yang sama) : Lutheran, Calvinis, Anglikan, Baptis dan seterusnya.
Untuk mempersatukan kembali pecahan-pecahan ini,
kaisar-kaisar Romawi-Timur memakai tentara untuk membawa kembali orang-orang
menolak keputusan-keputusan Chalcedon. Kata Calvin “sekiranya kita satu kali
dapat mengadakan pertemuan antara tokoh-tokoh gereja, yang sugguh-sungguh ingin
memperbincangkan masalah iman pasal demi pasal, agar kita dapat mewariskan
kepada anak-cucu ajaran yang tak berbeda-beda dari dalam alkitab mengenai
seegala hal yang kita sama-sama mengakuinya. Saya sendiri bersedia, jika perlu,
mengarungi sepuluh lautan untuk tujuan itu”. Tetapi tokoh-tokoh pada zamannya
tidak mau atau tidak meneruskan rencana itu, dan baru pada tahun 1927
berlangsung kongres oikumene yang pertama untuk mempercakapkan soal-soal iman
dan tata gereja.
2. Usaha-usaha
oikumenis zaman kita berpangkal pada gerakan revival/pietisme abad ke-18, dan
berhubungan erat dengan usaha-usaha pekabaran injil abad ke-19.
Revival/pietisme memiliki semangat yang berkobar-kobar
untuk mengabarkan injil dimana-mana. Tetapi gereja mereka masing-masing
bersikap acuh tak acuh. Begitulah kurang lebih tahun 1800 mereka mendirikan
lembaga-lembaga pI dan sebagainya, yang didalamnya berhimpun orang-orang dari
setiap gereja. Ini merupakan oikumene secara tidak langsung, dan gereja-gereja
pun belum terlibat juga.
Beberapa orang yang bersemangat oikumenis merasa bahwa
usaha-usaha tidak langsung ini belum cukup. mereka mendirikan
perserikatan-perserikatan yang secara khusus bermaksud untuk memajukan
persaudaraan kristen (1850). Misalnya Perserikatan Pemudi-pemudi Kristen
(YMCA/YWCA), young men’s/woman’s christian Association), yang didirikan pada
tahun 1844/1854. Salah seorang tokohnya ialah Jhon Mott (1865-1955). akan
tetapi, didalam usaha-usaha inipun gereja masih belim terlibat.
3. Puncak segala usaha
oikumenis pada abad ke-19 ialah Konferensi Pekabaran Injil se-Dunia di
Edinburgh, tahun 1910. Konferensi itu pula merupakan titik tolak untuk gerakan
oikumenis pada zaman kita ini. Sesudah Edinburgh, gereja-gereja mulai terlibat
didalamnya. Begitulah pada tahun 1948 didirikan Dewan Gereja-gereja se-Dunia
(DGD).
Pada tahun 1910 utusan-utusan dari lembaga-lembaga pI
diseluruh dunia berkumpul di Edinburgh, Skotlandia, untuk merundingkan
kebijakan tentang pekabaran injil untuk tahun-tahun depan. Dengan sendirinya
utusan-utusan itu sering merupakan orang-orang terkemuka dalam gerejanya
masing-masing. Oleh karena itu, pertemuan mereka di Edinburgh menjadi
rangsangan untuk memulai pertemuan, bukan lagi sebagai orang-orang kristen
pribadi, melainkan sebagai gereja-gereja. mereka mendirikan dua badan. yang
satu adalah gerakan “faith and order” (iman dan tata gereja, yang mau
membicarakan soal-soal tentang ajaran dan organisasi gereja. Yang lain ialah
gerakan “life and work” (kehidupan dan kegiatan), yang ingin bergiat dibidang
sosial politis. Setelah mengadakan beberapa konferensi besar, kedua gerakan ini
bergabung pada tahun 1948 menjadi Deewan Gereja-gereja se-Dunia yang berpusat di
Jenewa. Kegiatan kedua orang tua DGD diteruskan olehnya. dengan demikian, pada
konferensi-konferensi besar yang diadakan DGD (1948 Amsterdam, 1975 New Delhi,
1975 Nairobi, 1983 Vancouver, 1991 Canberra) dirundingka dua macam persoalan.
pertama, tentang ajaran dan organisasi, dengan maksud untuk membaw
gereja-gereja anggota lebih dekat satu sama lain dan akhirnya untuk mencapai
kesatuan. Tetapi disamping itu DGD berusaha untuk memelopori dan mendukung
segala usaha didunia ini yang ingin memejukan perdamaian dan keadilan, dan
menentang rasisme, ketidakadilan ekonomi serta perlombaan senjata.
Konferensi Edinburgh telah menghasilkan pula badan
ketiga, yaitu International Missionary Council (IMC, dewan pekabaran injil
internasional). dewan itu pun mengadakan beberapa konferensi-konferensi (1928
Yerusalem, 1938 Tambaran). Pada tahun 1961, Imc itupn bergabung dengan DGD,
menjadi bagian pekabaran injil dan penginji. Dalam konferensi itu lahirlah
wawasan “pekabaran injil dalam enam
benua”. Semboyanitu mencerminkan kesadaran bahwa di eropa dan Amerika Utarapun
gereja-gereja telah menjadi minoritas alam masyarakat bukan kristengara-gara
sekularisasi.
Anggota DGD sekitar 200 lebih gereja, yaitu hampir semua
gereja protestan tradisional, dan gereja-gereja ortodoks (sejak 1961). Gereja
Katolik Roma belum mau, karena baginya “oikumene”, kesatuan gereja, berarti :
semata-mata takluk kembali kepada paus di Roma. Namun sejak konsili vatikanun
II suasana menjadi lebih lunak sedikit, sehingga Gereja Katolik mengutus
peninjau-peninjau ke rapat-rapat DGD (juga sejak 1961).
Di tingkat benua ada organisasi serupa dengan DGD.
misalnya : Christian Conference of Asia (CCA), Pacific Conference of Churches
(PCC), Middle East Council of Churches (MECC) dan All Africa Conference of Churches
(AACC). Di tingkat nasional pun ada dewa-dewa gereja, seperti persekutuan
gereja-gereja tetap menganggap lebih baik berdebat dari pada berpisah.
Disamping kerjasama umum dalam DGD/dewan sebenua/nasional
ada pula lembaga kerjasama sedominasi. misalnya : World Alliance of Reformed
Churches (WARC), World Methodist Counil, Baptist World Alliance, Lutheran World
Federation (LWF). sejumlah besar gereja di indonesia menjadi anggota salah satu
lembaga sedominasi itu.
4. salah satu tujuan
DGD ialah membantu gereja-gereja untuk menjadi satu. Dibeberapa daerah kesatuan
yang demikian itu sudah berhasil diwujudkan, misalnya di India Selatan.
Ada tiga pokokteologi yang secara khusus merupakan
halangan :
1.
Bolehkah anak-anak dibaptis? hal itu
membedakan gereja baptis dan banyak lain dari gerejagereja lainnya.
2.
Sifat jabatan gereja. Pkok ini meliputi
beberapa soal : wajibkah gereja dipimpin oleh uskup dan menganut pewarisan
jabatan rasuli? juga dengan emansipasi wanita di Barat timbul juga masalah:
bolehkah wanita memegang jabatan gerejawi? pertanyaan ini mendapat jawaban
negatifdalam lingkunga Gereja Katolik Roma, Ortodoks Timur, protestan
konservatif.
3.
Hadirkah materi tubuh dan darah Kristus
dalam sakramen perjamuan kudus?
Di India selatan, di samping gereja
Thomas dan gereja Katolik Roma, terdapat gereja –gereja Anglikan, Metodis,
Presbiterian dan lain-lain. maka pada tahun 1918 gereja-gereja ini mulai
berunding tentang kesatuan. pembicaraan-pembicaraan berlangsung selama 28
tahun. teolog-teolog dari masing-masing gereja berulang-ulang bertemu untuk
memikirkan soal-soal yang dihadapi, terutama mengenai jabatan uskup dan
mengenai Perjamuan Kudus. berulang-ulang juga mereka putus asa akan tercapainya
kesepakatan. tetepi pada tahun 1947 gereja-gereja yang bersangkutan telah
merasa halnya matang. mereka bersatu dengan nama Church ofsouth India (Gereja
india Selatan). pendeta –pendetanyaakan ditahbiskan oleh uskup-uskup ataupun
oleh penatua-penatua. ketika kaum baptis disana di minta ikut, mereka menolak.
Usaha-usaha di india selatan itu
merupakan teladan yang sedang diikuti di India Utara, Sri Langka dll. Di Indonesia
perbedaan-perbedaan teologis tidak begitu mencolok. Disini yang merupakan
persoalan utama ialah sifat sukuisme dan hubungan masing-masing gerejadengan
luar negeri. Tetapi, baiklah kita merenungkan kata-kata Calvin mengenai
kesatuan gereja.
5.
Selain Gereja Katolik Roma, golongan Evangelikal juga tidak ikut serta dalam
kegiatan DGD
Golongan Evangelikal (injili) sudah
mulai melembaga pada tahun 1846 dengan didirikannya Evangelical Alliance (EA,
Persekutuan Injili. EA didirikan untuk melawan :
a) aliran
teologi yang dianggap bertentangan dengan Alkitab.
b) gejala
gereja rakyat yang memandang iman yang hidup sebagai syarat yang mutlak bagi
setiap anggota gereja. Sejak akhir abad ke-19 perjuangan teologi modern menjadi
semakin radikal, dan khususnya di Amerika Serikat melahirkan gerakan
fundamentalisme. Dogma pokok gerakan ini adalah kebenaran mutlak kitab suci
hingga detailnya yang paling kecil pun.
Pada
tahun 1951 sejumlah kaum evangelikal mendirikan World Evangelikal Alliance
(WEF), yamg merupakan organisasi tandingan DGD. Titik berat WEF terdapat di
Amerika Serikat. Di Eropa gerakan Evangelikal tidak seluas dan seradikal yang
di Amerika. Sama seperti di DGD, WEF memiliki “cabang” sebenua (di Asia:
Evangelical Fellowship of Asia) dan nasional (di Indonesia: Persekutuan Injil
Indonesia, didirikan 1974). Berbeda dengan DGD, yang dapat menjadi anggota
bukan hanya gereja, melainkan juga Organisasi Kristen bahkan orang-orang
perorangan. Juga berbeda dengan DGD, WEF tidak mengikhtiarkan kesatuan
gereja-gereja.
Gerakan Evangelikal terutama juga
menyatakan diri dibidang pekabaran injil. Dalam paroan kedua abad ke-19
bangkitlah semangat pekabaran Injil di kalangan mahasiswa Amerika. Pada masa
itu semangat itu masih disalurkan melalui badan-badan pI gereja-gereja
tradisional. Sejumlah tokoh gerakan itu malah jadi pemimpinpekabaran Injil
sedunia, yang menghasilkan konferensi Edinburgh 1910. Tetapi, di sebabkan pekabaran injil itu
meluap, jumlah calom misionaris( khususnya mereka yang tidak berpendidikan
misionaris, dan wanita-wanita) tidak ditampung oleh badan-badan tradisional.
maka lahirlah organisasi-organisasi baru, seperti China Inland Mission.
Pada
waktu konferensi Endiburgh masih ada kesepakatan umum mengenai tujuan pekabaran
injil (evangelization of the world in this generation, membawa injil keseluruh
dunia selama masa hidup angkatan ini). Sesudah tahun 1910, pertentangan di
bidang pekabaran injil antara kaum Evangelikal dengan lembaga-lembaga
tradisional juga bertambah tajam. Pihak Evngelikal mencurigai kegiatan sosial
oleh misi, sedangkan di kalangan lembaga-lembaga pI tradisional ada yang justru
menentang wawasan pekabaran injil langsung sebagai panggilan untuk bertobat dan
percaya kepada Yesus Kristus. Sementara badan-badan pI Evangelikal bertumbuh besar
dan bertambah banyak. Mulai tahun 1929 badan-badan itu mulai bergiat juga di
Indonesia (Ragi Carita). Setelah perang dunia II gerakan pI
evangelikalmengadakan beberapa konferensi internasional. Yang terkenal ialah
Kongres Launsame (Swis, 1974). yang dengan perjanjian Lausanne (Lausanne
Covenant) kembali memberi tempat pada kegiatan sosial dalam teori pekabaran
injil (dalam pateknya, kaum Evangelikal pun tidak pernah mengabaikannya).
Perkembangan ini antara lain disebabkan tekanan dari pihak kaum Evangelikal di
Asia, Afrika dan Amerika Latin, yang dinegerinya sendiri kurang mengenal
tantangan teologo moodern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar