Jumat, 01 September 2017

sejarah gerakan oikumene


Dosen Pengampu Pdt. Darius Sriyono M.  Th.

Oleh
NATAL RIA ZEGA
NIM    : 16311415
Prodi   : S1-PAK





SEJARAH GERAKAN OIKUMENE

1. Dalam sejarahnya yang panjang gereja yang esa itu sudah terpecah belah menjadi banyak gereja. Namun, begitu perpecahan terjadi, segera mulai pula usaha-usaha untuk memulihkan kesatuan yang telah didoakan oleh Kristus (Yoh. 17:21). Kesatuan gereja yang dicita-citakan ini disebut oikumene.
            Pada setiap abad ada terjadi keretakan dalam gereja kristen. keretakan-keretakan terbesar terjadi setelah Konsili Chalcedon (451, penganut nestorius dan crillus memisahkan diri) antara tahun 1054-1204 (gereja katolik pecah menjadi gereja ortodoks Timur  dan gereja Katolik Roma), dan sesudah tahun 1517 (gereja Protestan lahir). Kemudian, gereja Protestan terpecah-pecah lagi, sehingga banyak timbul denominasi(= kelompok gereja-gereja yang mempunyai dasar yang sama) : Lutheran, Calvinis, Anglikan, Baptis dan seterusnya.
            Untuk mempersatukan kembali pecahan-pecahan ini, kaisar-kaisar Romawi-Timur memakai tentara untuk membawa kembali orang-orang menolak keputusan-keputusan Chalcedon. Kata Calvin “sekiranya kita satu kali dapat mengadakan pertemuan antara tokoh-tokoh gereja, yang sugguh-sungguh ingin memperbincangkan masalah iman pasal demi pasal, agar kita dapat mewariskan kepada anak-cucu ajaran yang tak berbeda-beda dari dalam alkitab mengenai seegala hal yang kita sama-sama mengakuinya. Saya sendiri bersedia, jika perlu, mengarungi sepuluh lautan untuk tujuan itu”. Tetapi tokoh-tokoh pada zamannya tidak mau atau tidak meneruskan rencana itu, dan baru pada tahun 1927 berlangsung kongres oikumene yang pertama untuk mempercakapkan soal-soal iman dan tata gereja.

2. Usaha-usaha oikumenis zaman kita berpangkal pada gerakan revival/pietisme abad ke-18, dan berhubungan erat dengan usaha-usaha pekabaran injil abad ke-19.
            Revival/pietisme memiliki semangat yang berkobar-kobar untuk mengabarkan injil dimana-mana. Tetapi gereja mereka masing-masing bersikap acuh tak acuh. Begitulah kurang lebih tahun 1800 mereka mendirikan lembaga-lembaga pI dan sebagainya, yang didalamnya berhimpun orang-orang dari setiap gereja. Ini merupakan oikumene secara tidak langsung, dan gereja-gereja pun belum terlibat juga.
            Beberapa orang yang bersemangat oikumenis merasa bahwa usaha-usaha tidak langsung ini belum cukup. mereka mendirikan perserikatan-perserikatan yang secara khusus bermaksud untuk memajukan persaudaraan kristen (1850). Misalnya Perserikatan Pemudi-pemudi Kristen (YMCA/YWCA), young men’s/woman’s christian Association), yang didirikan pada tahun 1844/1854. Salah seorang tokohnya ialah Jhon Mott (1865-1955). akan tetapi, didalam usaha-usaha inipun gereja masih belim terlibat.

3. Puncak segala usaha oikumenis pada abad ke-19 ialah Konferensi Pekabaran Injil se-Dunia di Edinburgh, tahun 1910. Konferensi itu pula merupakan titik tolak untuk gerakan oikumenis pada zaman kita ini. Sesudah Edinburgh, gereja-gereja mulai terlibat didalamnya. Begitulah pada tahun 1948 didirikan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD).
            Pada tahun 1910 utusan-utusan dari lembaga-lembaga pI diseluruh dunia berkumpul di Edinburgh, Skotlandia, untuk merundingkan kebijakan tentang pekabaran injil untuk tahun-tahun depan. Dengan sendirinya utusan-utusan itu sering merupakan orang-orang terkemuka dalam gerejanya masing-masing. Oleh karena itu, pertemuan mereka di Edinburgh menjadi rangsangan untuk memulai pertemuan, bukan lagi sebagai orang-orang kristen pribadi, melainkan sebagai gereja-gereja. mereka mendirikan dua badan. yang satu adalah gerakan “faith and order” (iman dan tata gereja, yang mau membicarakan soal-soal tentang ajaran dan organisasi gereja. Yang lain ialah gerakan “life and work” (kehidupan dan kegiatan), yang ingin bergiat dibidang sosial politis. Setelah mengadakan beberapa konferensi besar, kedua gerakan ini bergabung pada tahun 1948 menjadi Deewan Gereja-gereja se-Dunia yang berpusat di Jenewa. Kegiatan kedua orang tua DGD diteruskan olehnya. dengan demikian, pada konferensi-konferensi besar yang diadakan DGD (1948 Amsterdam, 1975 New Delhi, 1975 Nairobi, 1983 Vancouver, 1991 Canberra) dirundingka dua macam persoalan. pertama, tentang ajaran dan organisasi, dengan maksud untuk membaw gereja-gereja anggota lebih dekat satu sama lain dan akhirnya untuk mencapai kesatuan. Tetapi disamping itu DGD berusaha untuk memelopori dan mendukung segala usaha didunia ini yang ingin memejukan perdamaian dan keadilan, dan menentang rasisme, ketidakadilan ekonomi serta perlombaan senjata.
            Konferensi Edinburgh telah menghasilkan pula badan ketiga, yaitu International Missionary Council (IMC, dewan pekabaran injil internasional). dewan itu pun mengadakan beberapa konferensi-konferensi (1928 Yerusalem, 1938 Tambaran). Pada tahun 1961, Imc itupn bergabung dengan DGD, menjadi bagian pekabaran injil dan penginji. Dalam konferensi itu lahirlah wawasan  “pekabaran injil dalam enam benua”. Semboyanitu mencerminkan kesadaran bahwa di eropa dan Amerika Utarapun gereja-gereja telah menjadi minoritas alam masyarakat bukan kristengara-gara sekularisasi.
            Anggota DGD sekitar 200 lebih gereja, yaitu hampir semua gereja protestan tradisional, dan gereja-gereja ortodoks (sejak 1961). Gereja Katolik Roma belum mau, karena baginya “oikumene”, kesatuan gereja, berarti : semata-mata takluk kembali kepada paus di Roma. Namun sejak konsili vatikanun II suasana menjadi lebih lunak sedikit, sehingga Gereja Katolik mengutus peninjau-peninjau ke rapat-rapat DGD (juga sejak 1961).
            Di tingkat benua ada organisasi serupa dengan DGD. misalnya : Christian Conference of Asia (CCA), Pacific Conference of Churches (PCC), Middle East Council of Churches (MECC) dan All Africa Conference of Churches (AACC). Di tingkat nasional pun ada dewa-dewa gereja, seperti persekutuan gereja-gereja tetap menganggap lebih baik berdebat dari pada berpisah.
            Disamping kerjasama umum dalam DGD/dewan sebenua/nasional ada pula lembaga kerjasama sedominasi. misalnya : World Alliance of Reformed Churches (WARC), World Methodist Counil, Baptist World Alliance, Lutheran World Federation (LWF). sejumlah besar gereja di indonesia menjadi anggota salah satu lembaga sedominasi itu.

4. salah satu tujuan DGD ialah membantu gereja-gereja untuk menjadi satu. Dibeberapa daerah kesatuan yang demikian itu sudah berhasil diwujudkan, misalnya di India Selatan.
            Ada tiga pokokteologi yang secara khusus merupakan halangan :
1.      Bolehkah anak-anak dibaptis? hal itu membedakan gereja baptis dan banyak lain dari gerejagereja lainnya.
2.      Sifat jabatan gereja. Pkok ini meliputi beberapa soal : wajibkah gereja dipimpin oleh uskup dan menganut pewarisan jabatan rasuli? juga dengan emansipasi wanita di Barat timbul juga masalah: bolehkah wanita memegang jabatan gerejawi? pertanyaan ini mendapat jawaban negatifdalam lingkunga Gereja Katolik Roma, Ortodoks Timur, protestan konservatif.
3.      Hadirkah materi tubuh dan darah Kristus dalam sakramen perjamuan kudus?
            Di India selatan, di samping gereja Thomas dan gereja Katolik Roma, terdapat gereja –gereja Anglikan, Metodis, Presbiterian dan lain-lain. maka pada tahun 1918 gereja-gereja ini mulai berunding tentang kesatuan. pembicaraan-pembicaraan berlangsung selama 28 tahun. teolog-teolog dari masing-masing gereja berulang-ulang bertemu untuk memikirkan soal-soal yang dihadapi, terutama mengenai jabatan uskup dan mengenai Perjamuan Kudus. berulang-ulang juga mereka putus asa akan tercapainya kesepakatan. tetepi pada tahun 1947 gereja-gereja yang bersangkutan telah merasa halnya matang. mereka bersatu dengan nama Church ofsouth India (Gereja india Selatan). pendeta –pendetanyaakan ditahbiskan oleh uskup-uskup ataupun oleh penatua-penatua. ketika kaum baptis disana di minta ikut, mereka menolak.
            Usaha-usaha di india selatan itu merupakan teladan yang sedang diikuti di India Utara, Sri Langka dll. Di Indonesia perbedaan-perbedaan teologis tidak begitu mencolok. Disini yang merupakan persoalan utama ialah sifat sukuisme dan hubungan masing-masing gerejadengan luar negeri. Tetapi, baiklah kita merenungkan kata-kata Calvin mengenai kesatuan gereja.


5. Selain Gereja Katolik Roma, golongan Evangelikal juga tidak ikut serta dalam kegiatan DGD

            Golongan Evangelikal (injili) sudah mulai melembaga pada tahun 1846 dengan didirikannya Evangelical Alliance (EA, Persekutuan Injili. EA didirikan untuk melawan :
a)      aliran teologi yang dianggap bertentangan dengan Alkitab.
b)      gejala gereja rakyat yang memandang iman yang hidup sebagai syarat yang mutlak bagi setiap anggota gereja. Sejak akhir abad ke-19 perjuangan teologi modern menjadi semakin radikal, dan khususnya di Amerika Serikat melahirkan gerakan fundamentalisme. Dogma pokok gerakan ini adalah kebenaran mutlak kitab suci hingga detailnya yang paling kecil pun.
                        Pada tahun 1951 sejumlah kaum evangelikal mendirikan World Evangelikal Alliance (WEF), yamg merupakan organisasi tandingan DGD. Titik berat WEF terdapat di Amerika Serikat. Di Eropa gerakan Evangelikal tidak seluas dan seradikal yang di Amerika. Sama seperti di DGD, WEF memiliki “cabang” sebenua (di Asia: Evangelical Fellowship of Asia) dan nasional (di Indonesia: Persekutuan Injil Indonesia, didirikan 1974). Berbeda dengan DGD, yang dapat menjadi anggota bukan hanya gereja, melainkan juga Organisasi Kristen bahkan orang-orang perorangan. Juga berbeda dengan DGD, WEF tidak mengikhtiarkan kesatuan gereja-gereja.
                        Gerakan Evangelikal terutama juga menyatakan diri dibidang pekabaran injil. Dalam paroan kedua abad ke-19 bangkitlah semangat pekabaran Injil di kalangan mahasiswa Amerika. Pada masa itu semangat itu masih disalurkan melalui badan-badan pI gereja-gereja tradisional. Sejumlah tokoh gerakan itu malah jadi pemimpinpekabaran Injil sedunia, yang menghasilkan konferensi Edinburgh 1910.  Tetapi, di sebabkan pekabaran injil itu meluap, jumlah calom misionaris( khususnya mereka yang tidak berpendidikan misionaris, dan wanita-wanita) tidak ditampung oleh badan-badan tradisional. maka lahirlah organisasi-organisasi baru, seperti China Inland Mission.

                        Pada waktu konferensi Endiburgh masih ada kesepakatan umum mengenai tujuan pekabaran injil (evangelization of the world in this generation, membawa injil keseluruh dunia selama masa hidup angkatan ini). Sesudah tahun 1910, pertentangan di bidang pekabaran injil antara kaum Evangelikal dengan lembaga-lembaga tradisional juga bertambah tajam. Pihak Evngelikal mencurigai kegiatan sosial oleh misi, sedangkan di kalangan lembaga-lembaga pI tradisional ada yang justru menentang wawasan pekabaran injil langsung sebagai panggilan untuk bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus. Sementara badan-badan pI Evangelikal bertumbuh besar dan bertambah banyak. Mulai tahun 1929 badan-badan itu mulai bergiat juga di Indonesia (Ragi Carita). Setelah perang dunia II gerakan pI evangelikalmengadakan beberapa konferensi internasional. Yang terkenal ialah Kongres Launsame (Swis, 1974). yang dengan perjanjian Lausanne (Lausanne Covenant) kembali memberi tempat pada kegiatan sosial dalam teori pekabaran injil (dalam pateknya, kaum Evangelikal pun tidak pernah mengabaikannya). Perkembangan ini antara lain disebabkan tekanan dari pihak kaum Evangelikal di Asia, Afrika dan Amerika Latin, yang dinegerinya sendiri kurang mengenal tantangan teologo moodern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SKRIPSI Implementasi kurikulum Merdeka dalam penyusunan modul ajar mata pelajaran pendidikan agama Kristen di sekolah dasar negeri 01 dukuh Salatiga

  https://docs.google.com/document/d/1dg_AG2xpw73mPijLobl4L_S-3hXar0gk/edit?usp=drivesdk&ouid=109035727521198068929&rtpof=true&s...

HINTS